Selasa, 10 Juli 2012

Tahlilan



Pada dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan tidak memiliki argumentasi (dalih) yang kuat dan bisa diterima, kecuali satu dalih saja yaitu istihsan (menganggap baiknya suatu amalan). Tapi apakah amalan yang -walaupun- dianggap baik pelaksanaannya bisa diatur sesuai kehendak pribadi tanpa merujuk praktik dari Rasulullah saw.dan para sahabatnya? Suatu ketika Rasulullah mendengar pernyataan dari tiga orang; yang pertama menyatakan akan shalat tahajjud tanpa tidur malam, yang kedua menyatakan akan berpuasa tanpa berbuka, dan yang ketika menyatakan tidak akan menikah. Semuanya berniat baik, yaitu ingin bisa memperbanyak ibadah yang dapat meningkatkan ketaqwaan. Namun keinginan ketiganya dicela oleh Rasulullah.

Atas dasar hadits diatas maka beramal dengan dalih istihsan semata -tanpa sunnah Rasulullah- maka amalan tersebut tertolak. Kesempurnaan agama islam merupakan kesepakatan umat islam, karena memang telah dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya sehingga Islam tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah, baik perkataan maupun perbuatan melainkan telah dijelaskan Rasulullah.

Imam Syafii'I menganggap kumpul-kumpul, makan-makan, dan baca-baca ayat dalam acara kematian adalah bid'ah. Tetapi menurut penggemar tahlilan (yang katanya pengikut mahzab Syafi'i) itu bid'ah hasanah. Seandainya batasan bid'ah hasanah ini kita pakai, tampak jelas tahlilan kenduri bertentangan dengan nash dan atsar yang menjadi ijma' para sahabat, bahkan dengan madzhab Imam Syafi'I itu sendiri. Atas pertentangan ini maka muncul suatu pertanyaan : Benarkah kenduri tahlilan berasal dari madzhab Syafi'i? Benarkah Imam Syafi'I pernah tahlilan?

Jarir bin Abdillah al-Bajalli berkata,
"Kami memadang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)
(Sunan Ibnu Majah 1/514 no.1612, dishahihkan oleh Al-Albani)

Imam Syafi'I dalam kitabnya berkata,
"Aku membenci acara berkumpulnya orang di rumah keluarga mayit (ma-tam) meskipun tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan memberatkan urusan mereka." 
(Al-Um juz 1 hal. 279)

Imam Nawawi, seorang imam besar madzhab Syafi'I setelah mengutip perkataan Syafi'I tersebut di dalam kitabnya berkata,
"Ini adalah lafal beliau dalam kitab Al-Um. Inilah yang diikuti oleh murid-murid beliau. Adapun pengarang kitab ini (Al-Muhadzdzab, Asy-Syirazi) dan lainnya berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan perkara yang diada-adakan dalam agama (muhdats)."
(Majmu' Syarh al-Muhadzdzab juz 5 hal.306)

Dalam kitab fikih madzhab Syafi'iyah, dikutip bahwa Imam Syafi'i berkata,
"Dan dibenci menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga, dan seterusnya setelah sepekan. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan serta musiman (seperti acara haul dan sadranan,red)
(I'anatut Thalibin juz 2 hal.146)

Dalam baris sebelumnya dikutip,
"Dibenci pertemuan dengan penyajian makanan yang disediakan oleh keluarga mayit, karena hal itu hanya dilakukan dalam suasana gembira, kebiasaan itu adalah bid'ah."
(I'anatut Thalibin juz 2 hal.146)

Bahkan dalam kitab yang sama Imam Syafi'I menegaskan keharamannya
"Dan antara bid'ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai pada hari keempat puluh, pada hal semuanya itu adalah haram."
(I'abatut Thalibin juz. 2 hal 146-147)

Jadi bagaimana mungkin yang Imam katanya dijadikan panutan beramal (Imam Syafi'i) malah tidak pernah melakukan tahlilan bahkan justru mengharamkannya? Karena itu perlu dipertanyakan kembali keberadaan dalil shahih dari Al-Qur'an , Sunah Rasulullah, atau dari pendapat Imam Syafi'i yang menganjurkan -atau paling tidak yang membolehkan- kenduri tahlilan.

Sumber : rabbanisnotes.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar