Pada
dasarnya, pihak yang membolehkan acara tahlilan tidak memiliki argumentasi
(dalih) yang kuat dan bisa diterima, kecuali satu dalih saja yaitu istihsan
(menganggap baiknya suatu amalan). Tapi apakah amalan yang -walaupun- dianggap
baik pelaksanaannya bisa diatur sesuai kehendak pribadi tanpa merujuk praktik
dari Rasulullah saw.dan para sahabatnya? Suatu ketika Rasulullah mendengar
pernyataan dari tiga orang; yang pertama menyatakan akan shalat tahajjud tanpa
tidur malam, yang kedua menyatakan akan berpuasa tanpa berbuka, dan yang ketika
menyatakan tidak akan menikah. Semuanya berniat baik, yaitu ingin bisa
memperbanyak ibadah yang dapat meningkatkan ketaqwaan. Namun keinginan
ketiganya dicela oleh Rasulullah.
Atas
dasar hadits diatas maka beramal dengan dalih istihsan semata -tanpa sunnah
Rasulullah- maka amalan tersebut tertolak. Kesempurnaan agama islam merupakan
kesepakatan umat islam, karena memang telah dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya
sehingga Islam tidak butuh ditambah dan dikurangi lagi. Tidak ada suatu ibadah,
baik perkataan maupun perbuatan melainkan telah dijelaskan Rasulullah.
Imam
Syafii'I menganggap kumpul-kumpul, makan-makan, dan baca-baca ayat dalam acara
kematian adalah bid'ah. Tetapi menurut penggemar tahlilan (yang katanya
pengikut mahzab Syafi'i) itu bid'ah hasanah. Seandainya batasan bid'ah hasanah
ini kita pakai, tampak jelas tahlilan kenduri bertentangan dengan nash dan
atsar yang menjadi ijma' para sahabat, bahkan dengan madzhab Imam Syafi'I itu
sendiri. Atas pertentangan ini maka muncul suatu pertanyaan : Benarkah kenduri
tahlilan berasal dari madzhab Syafi'i? Benarkah Imam Syafi'I pernah tahlilan?
Jarir
bin Abdillah al-Bajalli berkata,
"Kami
memadang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit dan penghidangan makanan
oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)
(Sunan Ibnu Majah 1/514 no.1612, dishahihkan oleh Al-Albani)
Imam
Syafi'I dalam kitabnya berkata,
"Aku
membenci acara berkumpulnya orang di rumah keluarga mayit (ma-tam) meskipun
tidak disertai dengan tangisan. Karena hal itu akan menambah kesedihan dan
memberatkan urusan mereka."
(Al-Um juz 1 hal. 279)
Imam
Nawawi, seorang imam besar madzhab Syafi'I setelah mengutip perkataan Syafi'I
tersebut di dalam kitabnya berkata,
"Ini
adalah lafal beliau dalam kitab Al-Um. Inilah yang diikuti oleh murid-murid
beliau. Adapun pengarang kitab ini (Al-Muhadzdzab, Asy-Syirazi) dan lainnya
berargumentasi dengan argumen lain yaitu bahwa perbuatan tersebut merupakan
perkara yang diada-adakan dalam agama (muhdats)."
(Majmu' Syarh al-Muhadzdzab juz 5 hal.306)
Dalam
kitab fikih madzhab Syafi'iyah, dikutip bahwa Imam Syafi'i berkata,
"Dan
dibenci menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga, dan
seterusnya setelah sepekan. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan serta
musiman (seperti acara haul dan sadranan,red)
(I'anatut Thalibin juz 2 hal.146)
Dalam
baris sebelumnya dikutip,
"Dibenci
pertemuan dengan penyajian makanan yang disediakan oleh keluarga mayit, karena
hal itu hanya dilakukan dalam suasana gembira, kebiasaan itu adalah
bid'ah."
(I'anatut Thalibin juz 2 hal.146)
Bahkan
dalam kitab yang sama Imam Syafi'I menegaskan keharamannya
"Dan
antara bid'ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa
kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai pada hari keempat puluh, pada hal
semuanya itu adalah haram."
(I'abatut Thalibin juz. 2 hal 146-147)
Jadi
bagaimana mungkin yang Imam katanya dijadikan panutan beramal (Imam Syafi'i)
malah tidak pernah melakukan tahlilan bahkan justru mengharamkannya? Karena itu
perlu dipertanyakan kembali keberadaan dalil shahih dari Al-Qur'an , Sunah
Rasulullah, atau dari pendapat Imam Syafi'i yang menganjurkan -atau paling
tidak yang membolehkan- kenduri tahlilan.
Sumber : rabbanisnotes.blogspot.com
Sumber : rabbanisnotes.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar